Jumat, 06 Desember 2013

IQ TINGGI BUKAN PENENTU KEBERHASILAN



220px-William_James_Sidis_1914enwikipediaorg.jpgKecerdasan bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan seseorang. Anda pernah mendengar cerita tentang William James Sidis? Jika belum pernah mendengar tidak mengapa. Saya pun belum pernah mendengar, hingga beberapa waktu yang lalu guru Bahasa Inggris ketika saya SMA dulu bertanya kepada saya mengenai Sidis melalui BlackBerry Messenger. Segera saya tanya kepada “Paman Google” dan menemukan tentang Sidis pada laman Wikipedia.

William James Sidis (1 Apr 1898 – 17 Juli 1944) adalah anak Amerika yang sangat berbakat dengan kemampuan istimewa atas Matematika dan Bahasa. Selama hidupnya, IQ-nya diperkirakan antara 250 hingga 300, yang membuatnya menjadi yang tertinggi yang pernah tercatat. Dia masuk Harvard pada usia 11 tahun, dan sebagai orang dewasa dikabarkan menguasai lebih dari 40 bahasa dan dialek. Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa beberapa klaim dinilai berlebihan, dimana seorang periset menyatakan “Saya telah meriset kebenaran langsung dari sumber utama atas banyak subyek selama 28 tahun, dan belum pernah menemukan sebuah topik yang dipenuhi dengan kebohongan, mitos, kebenaran yang diragukan, berlebihan, dan bentuk-bentuk lain atas informasi menyesatkan seperti dalam sejarah di belakang William Sidis”. Sidis menjadi terkenal pertama kali untuk hal-hal yang dicapai mendahului usianya dan kemudian pada eksentriknya dan menarik diri dari kehidupan sosial. Akhirnya, dia menghindari semua yang berhubungan dengan matematika, dan menulis topik lain dengan sejumlah nama samaran.

066.jpg
Keluarga Sidis adalah keturunan Yahudi Ukraina. Orangtuanya meninggalkan negaranya untuk menetap di Amerika Serikat pada tahun 1887. Ayahnya, Boris Sidis, Ph.D., M.D., adalah seorang psikiater. Boris menguasai beberapa bahasa. Ibunya, Sarah Mandelbaum Sidis, M.D., lulusan Boston University, School of Medicine pada tahun 1897. Kedua orangtuanya memacu perkembangan intelektual Sidis mendahului kematangan usianya. Pada usia 18 bulan Sidis sudah bisa membaca surat kabar New York Times. Pada usia 8 tahun Sidis sudah belajar 8 bahasa, yaitu Latin, Yunani, Perancis, Rusia, Jerman, Ibrani, Turki, dan Armenia. Masuk Harvard pada usia 11 tahun, dan lulus sarjana dengan cum laude pada 18 Juni 1914, pada usia 16 tahun. Dia kemudian mendaftar di Harvard Graduate School of Arts and Sciences. Sidis melepas peluang mendapatkan gelar master dalam matematika, dia malah mendaftar ke Harvard Law School pada September 1916 dan mengundurkan diri pada Maret 1919. Sidis ditahan pihak berwenang atas partisipasinya dalam parade kaum sosialis di Boston, yang berakhir kacau. Dalam persidangan, Sidis menegaskan bahwa dia adalah seorang sosialis dan menentang Perang Dunia I. Orangtuanya menganggap Sidis terganggu jiwanya, dan Sidis dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Sidis meninggal di tahun 1944 di Boston akibat pendarahan otak pada usia 46 tahun. Hal yang sama dialami ayahnya pada tahun 1923 pada usia 56 tahun.

Kisah Wiliam James Sidis adalah salah satu contoh lagi bahwa kecerdasan terbukti gagal memprediksi kesuksesan sesorang. Kecerdasan merupakan salah satu faktor penentu, namun bukan satu-satunya faktor, dalam kesuksesan seseorang. Kecerdasan intelektual (IQ) bersama kecerdasan emosional (EQ), dan daya tahan (AQ) akan menentukan kesuksesan seseorang. Dan di antara ketiganya, Adversity Quotient (AQ), yang merupakan daya tahan seseorang dalam menghadapi situasi sulitlah yang paling berperan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar