Kecerdasan bukanlah satu-satunya
penentu keberhasilan seseorang. Anda pernah mendengar cerita tentang William James Sidis? Jika belum pernah
mendengar tidak mengapa. Saya pun belum pernah mendengar, hingga beberapa waktu
yang lalu guru Bahasa Inggris ketika saya SMA dulu bertanya kepada saya
mengenai Sidis melalui BlackBerry Messenger. Segera saya tanya kepada “Paman Google” dan menemukan tentang
Sidis pada laman Wikipedia.
William
James Sidis (1 Apr 1898 – 17 Juli 1944) adalah anak Amerika yang sangat
berbakat dengan kemampuan istimewa atas Matematika dan Bahasa. Selama hidupnya,
IQ-nya diperkirakan antara 250 hingga 300, yang membuatnya menjadi yang
tertinggi yang pernah tercatat. Dia masuk Harvard pada usia 11 tahun, dan
sebagai orang dewasa dikabarkan menguasai lebih dari 40 bahasa dan dialek. Akan
tetapi, belakangan diketahui bahwa beberapa klaim dinilai berlebihan, dimana
seorang periset menyatakan “Saya telah
meriset kebenaran langsung dari sumber utama atas banyak subyek selama 28
tahun, dan belum pernah menemukan sebuah topik yang dipenuhi dengan kebohongan,
mitos, kebenaran yang diragukan, berlebihan, dan bentuk-bentuk lain atas
informasi menyesatkan seperti dalam sejarah di belakang William Sidis”.
Sidis menjadi terkenal pertama kali untuk hal-hal yang dicapai mendahului
usianya dan kemudian pada eksentriknya dan menarik diri dari kehidupan sosial.
Akhirnya, dia menghindari semua yang berhubungan dengan matematika, dan menulis
topik lain dengan sejumlah nama samaran.
Keluarga
Sidis adalah keturunan Yahudi Ukraina. Orangtuanya meninggalkan negaranya untuk
menetap di Amerika Serikat pada tahun 1887. Ayahnya, Boris Sidis, Ph.D., M.D., adalah seorang psikiater. Boris menguasai
beberapa bahasa. Ibunya, Sarah
Mandelbaum Sidis, M.D., lulusan Boston University, School of Medicine pada
tahun 1897. Kedua orangtuanya memacu perkembangan intelektual Sidis mendahului
kematangan usianya. Pada usia 18 bulan Sidis sudah bisa membaca surat kabar New York Times. Pada usia 8 tahun Sidis
sudah belajar 8 bahasa, yaitu Latin, Yunani, Perancis, Rusia, Jerman, Ibrani,
Turki, dan Armenia. Masuk Harvard pada usia 11 tahun, dan lulus sarjana dengan cum laude pada 18 Juni 1914, pada usia
16 tahun. Dia kemudian mendaftar di Harvard Graduate School of Arts and
Sciences. Sidis melepas peluang mendapatkan gelar master dalam matematika, dia
malah mendaftar ke Harvard Law School pada September 1916 dan mengundurkan diri
pada Maret 1919. Sidis ditahan pihak berwenang atas partisipasinya dalam parade
kaum sosialis di Boston, yang berakhir kacau. Dalam persidangan, Sidis
menegaskan bahwa dia adalah seorang sosialis dan menentang Perang Dunia I.
Orangtuanya menganggap Sidis terganggu jiwanya, dan Sidis dimasukkan ke rumah
sakit jiwa. Sidis meninggal di tahun 1944 di Boston akibat pendarahan otak pada
usia 46 tahun. Hal yang sama dialami ayahnya pada tahun 1923 pada usia 56
tahun.
Kisah
Wiliam James Sidis adalah salah satu contoh lagi bahwa kecerdasan terbukti
gagal memprediksi kesuksesan sesorang. Kecerdasan merupakan salah satu faktor
penentu, namun bukan satu-satunya faktor, dalam kesuksesan seseorang.
Kecerdasan intelektual (IQ) bersama kecerdasan emosional (EQ), dan daya tahan
(AQ) akan menentukan kesuksesan seseorang. Dan di antara ketiganya, Adversity
Quotient (AQ), yang merupakan daya tahan seseorang dalam menghadapi situasi
sulitlah yang paling berperan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar